Sabtu, 13 Oktober 2012

Dakwah Rasulullah SAW di Musim Haji

Dakwah Rasulullah pada musim haji tahun kesebelas nubuwah membawa titik terang arah dakwah selanjutnya. Dari enam orang inilah kemudian Islam menyebar di Madinah dan menjadi kota yang siap menerima kepemimpinan Islam.

Pada musim haji tahun kesebelas dari nubuwah, tepatnya pada bulan Juli tahun 620 M, dakwah Islam memperoleh benih-benih yang baik, dan secepat itu pula tumbuh menjadi pohon yang  rindang. Di bawah lindungannya, orang-orang Muslim bisa melepaskan diri dari lembaran-lembaran kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang telah berjalan beberapa tahun.

Ada satu langkah bijaksana yang dilakukan Rasulullah saw dalam menghadapi tindakan penduduk Makkah yang selalu mendustakan dan menghalang-halangi orang yang mengikuti jalan Allah, yaitu beliau menemui berbagai kabilah pada malam hari, sehingga tak seorang pun dari orang-orang musyrik Makkah yang bisa menghalang-halanginya.

Suatu malam dengan ditemani Abu Bakar dan Ali, beliau keluar dan melewati perkampungan Dzuhl dan Syaiban bin Tsa’labah. Beliau menyampaikan Islam kepada mereka. Abu Bakar dan seseorang dari Dzuhl mengadakan perdebatan yang cukup seru. Adapun Bani Syaiban memberikan jawaban yang tuntas, namun mereka masih menunda untuk menerima Islam.

Kemudian Rasulullah saw melewati Aqabah di Mina. Di sana beliau mendengar beberapa orang yang sedang berbincang. Maka beliau mendekati mereka. Ternyata mereka adalah enam orang pemuda Yastrib (setelah Rasulullah hijrah diubah menjadi Madinah), yang semuanya berasal dari Khazraj, yaitu:

1.    As’ad bin Zurarah, dari Bani An-Najjar
2.    Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah bin Afra, dari Bani An-Najjar
3.    Rafi’ bin Malik bin Al-Ajlan, dari Bani Zuraiq
4.    Quthbah bin Amir bin Hadidah, dari Bani Salamah
5.    Uqbah bin Amir bin Nabi, dari Bani Ubaid bin Ka’b
6.    Jabir bin Abdullah bin Ri’ab, dari Bani Ubaid bin Ghanm

Untungnya mereka pernah mendengar dari sekutu-sekutu mereka dari kalangan Yahudi Madinah, bahwa ada seorang nabi yang diutus pada masa ini, yang akan muncul dan mereka akan mengikutinya, sehingga mereka bisa memerangi Khazraj seperti peperangan yang menghancur leburkan kaum Ad dan Iram.

“Siapakah kalian ini?” tanya beliau setelah saling bertemu muka dengan mereka.
“Kami orang-orang dari Khazraj,” jawab mereka.
“Sekutu orang-orang Yahudi?” tanya beliau.
“Benar,” jawab mereka.
“Maukah kalian duduk-duduk agar bisa berbincang-bincang dengan kalian?”
“Baiklah.”

Mereka pun duduk-duduk bersama beliau, lalu beliau menjelaskan hakikat Islam dan dakwahnya, mengajak mereka kepada Allah dan membacakan Al Qur’an. Mereka berkata, “Demi Allah, kalian tahu sendiri bahwa memang dia benar-benar seorang nabi seperti apa yang dikatakan orang-orang Yahudi. Janganlah mereka mendahului kalian. Oleh karena itu segeralah memenuhi seruannya dan masuklah Islam!”

Mereka ini termasuk pemuda-pemuda Yastrib yang cerdas. Setiap saat peperangan antarpenduduk siap meluluhlantakkan, yang saat itu pun baranya masih tetap menyala. Maka mereka berharap dakwah beliau ini bisa menjadi sebab untuk meredakan peperangan. Mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami dan kaum lain terus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah menyatukan mereka dengan engkau. Kami akan menawarkan agama yang telah kami peluk ini. Jika Allah menyatukan mereka, maka tidak ada orang yang lebih mulia selain daripada diri engkau.”

Sekembalinya ke Madinah, mereka membawa risalah Islam dan menyebarkannya di sana. Sehingga tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah menyebut nama Rasulullah saw.
Enam orang ini pada musim haji berikutnya, tahun keduabelas nubuwah, kembali ke Makkah dengan membawa enam tokoh Madinah lainnya. Total mereka sekarang berjumlah 12 orang. Kemudian terjadilah Baiat Aqabah Pertama. Saat mereka hendak kembali ke Madinah, Rasulullah menyertakan bersama 12 orang itu salah satu sahabat terbaik, Mush’ab bin Umair.

Demikianlah Rasulullah Saw berhasil menggunakan momentum haji untuk mendakwah Islam kepada kabilah-kabilah Arab. Haji bukanlah sekedar ibadah ritual, tetapi haji dapat berdimensi dakwah, politik dan ekonomi. Saat ini ketiga dimensi itu seolah sirna dalam pelaksanaan ibadah haji sehingga seolah ibadah haji hanya menjadi ritual tahunan.

Kedepan semoga momentum haji dapat menjadi sarana untuk menyatukan umat Islam, baik secara politik maupun ekonomi. Wallahu a’lam. (shodiq ramadhan)

0 komentar:

Posting Komentar